Kamis, 01 Agustus 2013

“ HASIL-HASIL KEBUDAYAAN ” TERPENTING DI INDONESIA

1. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD CANDI Dari bangunan-bangunan zaman purba yang sampai kepada kita, yang kini masih tinggal sebagai peninggalan kebudayaan purba, hanyalah yang terbuat dari batu saja. Bangunan-bangunan ini ternyata sangat erat hubungannya dengan keagamaan, jadi bersifat suci. Bangunan-bangunan biasa, seperti rumah-rumah dan sebagainya, tidak ada yang bertahan karena termakan oleh waktu, serta terbuat dari kayu dan bambu. Bangunan-bangunan zaman purba itu biasa disebut candi. Perkataan ini berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu Candika. Jadi bangunan itu hubungannya ialah dengan Dewi Maut. Memang candi itu sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusus untuk para raja dan orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan di sana bukanlah mayat ataupun abu jenazah melaikan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan “pripih” dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya. Mayat seorang raja yang meninggal dibakar, dan abunya dibuang atau dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara, dan upacara-upacara serupa dengan nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan waktu tertentu. Maksudnya ialah untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu ,enitis menjelma di dalam sang raja tersebut. Upacara terakhir adalah upacara craddha. Pada kesempatan itu dilepaskan sama sekali dari segala ikatan keduniawian yang memungkinkan masih ada dan lenyaplah penghalang terkhir untuk dapatnya bersatu kembali dengan dewa panitisnya. Sebagai lambang jasmaniah dibuatlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang disebut puspacarita. Sebagai penutup upacara craddha, maka puspacarita ini dihanyutkan ke laut. Setelah sang raja lepas dari alam keduniawian dan menjadi dewa, didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan pripih tersebut. Pripih ini ditaruh dalam sebuah peti batu, dan peti ini diletakkan dalam dasar bangunannya dan dibuat pula sebuah patung untuk perwujudan raja sebagai dewa, dan patung ini menjadi sasaran pemujaan bagi mereka yang hendak memuja raja. Candi sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi agama Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di dalamnya tidak terdapat peti pripih, dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Abu jenazah, juga dari para bhiksu yang terkemuka, ditanam disekitar candi dalam bangunan stupa. Dengan demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja sebagai dewa, dan yang menjadi arca utama di dalam candi umumnya adalah arca Syiwa yaitu berupa lingga. Adakalanya perwujudan ini berupa dewa agama Buddha, tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah agama Buddha yang sesungguhnya melainkan Tantrayana. Candi sebagai bangunan terdiri atas 3 bagian, yakni : kaki, tubuh, dan atap. Kaki candi denahnya buju sangkar, dan biasanya sedikit tinggi, serupa batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang menujau terus ke dalam bilik candi. Di dalam kaki candi, di tengah-tengah, ada sebuah perigi tempat menanam pripihnya. Tubuh candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca. Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke arah pintu candi. Atap candi selalu terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya untuk akhirnya diberi sebuah puncak yang berupa semacam genta. Pada upacara pemujaan, maka jasad jasmaniah dari dalam perigi dinaikkan sedangkan jasad rohaniah dari rongga di dalam atap diturunkan, kedua-duanya di dalam arca perwujudan. Dengan jalan ini maka hiduplah arca itu. Ia bukan lagi batu biasa, melainkan perwujudan dari almarhum sang raja sebagai dewa. Dengan kenyataan ini maka candi melambangkan pula alam semesta dengan 3 bagiannnya : kaki adalah alam bawah tempat manusia biasa, atap adalah alam atas tempat dewa-dewa, dan tubuh adalah alam arwah tempat manusia telah meninggalkan keduniawiaannya dan dalam keadaan suci menemui Tuhannnya. Candi sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan pula bangunan tiruan dari tempat dewa yang sebenarnya yaitu Gunung Mahameru. Maka candi itu dihiasi dengan berbagai macam ukiran dan pahatan yang terdiri atas pola-pola yang disesuaikan dengan alam Gunung tersebut, misalnya bunga-bunga teratai, binatang-binatang ajaib, bidadari-bidadari, dewa-dewi dan sebagainya. Candi ada yang berdiri sendiri, ada pula yang berkelompok dan terdiri atas sebuah candi induk dan candi perwara yang lebih kecil. Cara mengelompokkan candi rupanya erat hubungannya dengan alam pikiran serta susunan masyarakatnya. Demikian pula kelompok-kelompok candi di bagian Selatan Jawa Tengah selalu disusun demikian rupa, sehingga candi imduk berdiri di tengah dan candi-candi perwaranya teratur rapi berbaris-berbaris di sekelilingnya, sedangkan di bagian Utara Jawa Tengah candi-candi itu berkelompok dengan tidak beraturan dan bahkan merupakan gugusan candi-candi yang masing-masing berdiri sendiri. Hal tersebut ternyata mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat di Jawa Tengah Selatan dan pemerintahan federal yang terdiri tasa daerah-daerah swatantra yang sederajat di Jawa Tengah Utara. Demikianlah dapat dibayangkan, bahwa pemerintahan keluarga Syailendra bersifat feodal dengan raja sebagai pusatnya, sedangkan pemerintahan keluarga Sanjaya lebih demokratis. Di Jawa Timur yang nyata ialah sejak zaman Singasari susunan kelompok candi berlainan lagi. Candi induknya terletak di bagian belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan lainnya ada di bagian depan. Candi induk adalah yang tersuci dan menduduk dan di dalam kelompok menduduki tempat yang tertinggi. Susunan demikian menggambarkan pemerintahan federal yang terdiri atas negara-negara bagian yang berotonomi penuh, sedangkan pemerintahan pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di belakang mempersatukan pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka kesatuan. Dilihat dari sudut cara pengelompokkannya, maka candi-candi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : jenis Jawa Tengah Utara, jenis Jawa Tengah Selatan, dan jenis Jawa Timur dengan termasuk pula di dalamnya candi-candi di Bali dan Sumatera Tengah (Muara Takus) serta Utara (Padang Lawas). Pembagian ini sesuai dengan agama yang mereka wakili atau dianut yaitu agama Hindu. Dalam hal ini kelompok candi Loro Jonggrang merupakan kekecualian, yaitu bahwa susunannya sesuai apa yang didapat Jawa Tengah Selatan tetapi agama yang diwakilinya adalah Hindu. Ditinjau dari corak serta bentuknya, candi-candi Jawa Tengah Utara pada dasarnya tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Namun hanya saja candi-candi di Jawa Tengah Selatan terkesan lebih mewah dan lebih megah dari candi-candi daripada candi-candi di Jawa tengah Utara yang dalam pemberian bentuk hiasan yang sangat sederhana. Demikian juga perbedaan antara candi-candi Jawa tengah dan candi-candi Jawa Timur, sehingga dikatakan adanya langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Perbedaan kedua langgam itu disesuaikan pada batas waktu sejarah, termasuk langgam Jawa Tengah dari sebelum tahun 1000 Masehi, jadi termasuk pula beberapa candi dari Jawa Timur, merupakan candi-candi yang tergolong sejak abad ke-11(seperti candi Muara Takus dan Gunung Tua). Adapun perbedaan-perbedaan terpenting pada candinya sendiri dari kedua langgam tersebut adalah sebagai berikut : Langgam Jawa Tengah 1. Bentuk bangunannya tambun. 2. Atapnya terlihat berundak-undak. 3. Puncaknya berbentuk ratna atau stupa. 4. Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara. 5. Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalistis. 6. Kebanyakan menghadap ke Timur. 7. Letak candi di tengah halaman. 8. Kebanyakan terbuat dari batu andesit. Langgam Jawa Timur 1. Bentuk bangunannya ramping. 2. Atapnya merupakan perpaduan tingkatan. 3. Puncaknya berbentuk kubus. 4. Mekara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kara. 5. Reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit. 6. Kebanyakan menghadap ke barat. 7. Letak candi di belakang halaman. 8. Kebanyakan terbuat dari bata. Candi-candi jenis Jawa Tengah Utara yang terpenting ialah : 1. Candi Gunung Wukir dekat Magelang, yang berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732 M. 2. Candi Badut dekat Malang, yang berhubungan dengan prasasti Dinoyo tahun 760 M. 3. Kelompok candi Dieng, yang terdiri atas berbagai candi yang oleh pen- duduk diiberi nama-nama wayang, seperti Bima, Samiaji, Arjuna, Gatot- kaca, Semar, Srikandi, Dwarawati dan sebagainya ; di dekat Candi Arju- na ditemukan sebuah prasasti dari tahun 809 M. 3. Kelompok candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran. Candi-candi jenis Jawa Tengah Selatan yang terpenting adalah : 1. Candi Kalasan dekat Yogyakarta yang didirikan pada tahun 778 M. 2. Candi Sari di dekat Candi Kalasan. 3. Candi Borobudur, yang dalam bentuk dasarnya merupakan punden berundak-undak tetapi disesuaikan dengan agama Buddha Mahayana untuk menggambarkan Kamadhatu (bagian kaki yang tertimbun dan tertutup oleh susunan batu bata), Rupadhatu bagian yang terdiri atas lorong-lorong dengan pagar-pagar tembok dan penuh dengan hiasan serta relief yang seluruhnya mencapai 4 Km panjangnya, (diantaranya melukiskan Lalitavistara dan sebagainya), dan Arupadhatu (bagian atas yang terdiri atas batur-batur bundar, dengan lingkaran-lingkaran stupa yang semuanya tidak dihiasi sama sekali). 4. Candi Mendut di sebelah timur Borobudur, yang di dalamnya memuat tiga batu arca besar sekali, yaitu Buddha diapit Padmapani dan Wajrapani. 5. Kelompok Candi Sewu, di dekat desa Prambanan, yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi oleh ± 250 buah candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris. 6. Kelompok Candi Plaosan, di sebelah Timur candi Sewu, yang terdiri atas 2 buah candi induk dikelilingi oleh 2 baris stupa dan 2 baris candi perwara. 7. Kelompok Candi Loro Jonggrang di desa Prambanan, yang disusun demikian sehingga candi induknya untuk Syiwa diapit oleh candi-candi Brahma dan wisnhu dan dengan beberpa candi perwara lainnya merupakan pusat kelompok yang dikelilingi lebih dari 200 buah candi perwara yang tersusun menjadi 4 baris. Candi-candi Jawa Timur yang terpenting adalah : 1. Candi Kidal, dekat Malang, Candi Anusapati. 2. Candi Jago, dekat Malang, Candi Wisnuwardana. 3. Candi Singasari, dekat Malang, Candi Kertanegara. 4. Candi Jawi dekat Prigen, Candi Kertanegara sebagai Candi Syiwa Buddha. 5. Kelompok Candi Panataran, dekat Blitar, yang halamannya terdiri atas 3 bagian sedangkan candi induknya terletak di bagian belakang. 6. Candi Jabung, dekat Keraksaan, berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi. 7. Kelompok Candi Muara Takus, dekat Bangkinang, yang terdiri dari beberapa bangunan, diantaranya yang masih tegak sebuah stupa yang bulat tinggi. 8. Kelompok Candi-candi Gunung Tua, dekat Padang Sidempuan yang terdiri atas berbagai biaro sebagai candi-candi induk yang letaknya tersebar dan berjauhan. Kecuali candi-candi yang disebutkan di atas, ada lagi bangunan-bangunan yang dalam mulut rakyat disebut candi pula tetapi sifat dan wujudnya sangat berbeda. Bangunan-bangunan ini adalah petitaan (tempat pemandian suci) dan Candi Padas. Pertitaan yang terkenal ialah, Jolotundo dan Belahan di lereng Gunung Penangungan dekat Mojokerto (dari abad ke-9 dan 11), Candi Tikus di bekas kota Majapahit (abad ke-14) dan Goa Gajah dekat Gianyarb(abad ke-13). Candi Padas yang terkenal ialah Gunung Kawi di Tampak Siring. Di sini terdapat 10 buah candi yang terpahatkan seperti relief di tebing-teping pada sungai Pakerisan yang disusun menjadi 5 kelompok candi, kelompok 4 candi dan candi yang ke-10 tersendiri. Candi-candi ini adalah tempat anak Wungu (abad ke-11). Bangunan-bangunan lain lagi yang berbeda sekali sifatnya ialah gapura-gapura yang disebut candi oleh rakyat. Memang bentuk gapura-gapura itu hampir sama dengan bentuk candi, tetapi hanya saja sebagai pintu untuk keluar masuk maka dalam bagian tubuhnya terdapat lubang pintu. Gapura tersebut misalnya : Candi Jedong, Candi Plumbangan dan Candi Bajang Ratu. Jenis gapura yang kedua ialah yang rupanya seperti bangunan candi yang dibelah dua, untuk meluangkan jalan keluar masuk. Gapura semacam ini disebut Candi Bentar ini muncil dalam seni banguan Indonesia pada zaman Majapahit, sebagaimana dapat dilihat pada relief-relief. Di bekas kota Majapahit sendiri masih berdiri candi wringin Lawang, sebuah Candi Bentar yang besar sekali. Di kelompok Candi Panataran terdapat Candi Bentar, tetapi kini telah hancur termakan waktu. 2. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD PATUNG DEWA Berdasarkan pada uraian mengenai candi di atas, untuk menghormati arwah yang yang telah bersatu dewa perintisnya, maka dibuatkan sebuah patung. Patung ini menjadi arca induk di dalam candi. Biasanya sebuah candi itu membuat berbagai buah patung-patung lain. Dengan demikian maka seni pahat patung itu hubungannya ialah dengan keagamaan. Patung-patung itu menggambarkan dewa atau dewi. Untuk membedakan dewa yang satu dari dewa yang lainnya, masing-masing arca memiliki tanda-tanda tersendiri. Patung dewa-dewa agama Hindu : Ciwa (Syiwa) sebagai Mahadewa laksanya : Ardhacandrakapala, yaitu bulan sabit di bawah sebuah tengkorak, yang terdapat pada mahkota ; mata ketiga di dahi ; upawita ular naga ; cawat kulit harimau yang dinyatakan dengan lukisan kepala serta ekor harimau pada kedua pahanya ; tangannya 4, masing-masing memegang camara (pengahalau lalat), aksamala(tasbih), kamandalu(kendi berisi air penghidupan) dan trisula (tombak yang ujungnya bercabang tiga). Ciwa sebagai Mahaguru atau Mahayogi laksananya : kamandalu dan trisula; perutnya gendut, berkumis panjang dan berjanggut runcing. Ciwa sebagai Mahakala rupanya menakutkan seperti raksasa; ia bersenjata gada. Ciwa sebagai Bhairawa lebih menakutkan lagi. Ia berhiaskan rangkaian tengkorak, tangan satunya memegang mangkuk dari tengkorak dan tangan lainnya sebuah pisau. Ciwa juga mempunyai kendaraan khusus, yaitu lembu Nandi. Durga, isteri Ciwa, biasanya dilukiskan sebagai Mahisasuramarami. Ia berdiri di atas berdiri di atas seekor lembu yang ia taklukkan. Durga bertangan 8, 10, atau 12, masing-masing tangannya memegang senjata. Sebagai isteri Mahakala Durga bernama Kali, dan sebagai isteri Bhairawa ia bernama Bhairawi. Dalam kedua bentuk ini ia sangat menakutkan pula rupanya. Seringkali Durga diberi kendaraan sendiri, yaitu Singa. Anaka Ciwa ada dua, yaitu Ganesha, dewa yang berkepala gajah dan yang disembah sebagai deaw ilmu dan dewa menyingkir rintangan-rintangan, dan Kartikeya (Skanda atau Kumara), sebagai dewa yang selalu digambarakan sebagai kanak-kanak naik merak dan mempunyai kedudukannya sebagai perang. Wisnu lakasanya dalah bertangan empat masing-masing memegang gada, cakara (cakram), cangkha (kerang bersayap) dan buah atau kuncup teratai. Kendaraannnya adalah Garuda, sedangkan isterinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi Bahagia). Brahma mudah dikenal, karena ia digambarkan berkepala (bermuka) empat dan bertangan empat pula,dua di belakang memegang aksamala dan camara. Kendaraannnya adalah hangsa, dan isterinya adalah Saraswati (Dewi Keberanian dan Kecantikan). Disamping dewa-dewa trimurti yang disebutkan di atas, ada pula dipuja dewa kekayaan, yaitu Kuwera. Ia selalu digambarkan duduk di atas karung harta yang dikelilingi oleh periuk-periuk berisi harta. Perutnya gendut, tangan kirinya memegang pundi-pundi dari binatang semacam tupai dan tangan kanannya memegang sebuah limau. Isteri Kuwera adalah Hariti, dewi yang menggambarkan kekayaan anak. Kuwera dan Haiti juga dipuja dalam agama Buddha. Di dalam agama Buddha kita mengenal adanya Dhyani-Buddha, Manusi-Buddha dan Dhyani-Bodhisatwa. Antara patung Dhyani-Buddha dan Manusi Buddha pada umumnya sama saja, dan dapat dibedakan dalam hubungannya dengan petunjuk lain. Arca Buddha pun pada umumnya semua saja, sangat sederhana tanpa sesuatu hiasan, hanya memilki jubah serta memiliki ciri-ciri yakni : rambutnya selalu keriting, di atas kepala ada tonjolannnya seperi sanggul yang dinamakan usnisa, dan di antara keningnya ada semacam jerawat yang jerawat yang disebut urna. Dewa yang dilukiskan dalam arca Buddha hanya dapat diketahui dari mudra (sikap tangan)-nya. Berikut ini beberapa nama-nama Dewa yang dilukiskan dalam arca Buddha teresbut : Wairocana, penguasa zenith, mudranya dharmacakra, yaitu sikap tangan memutar roda dharma. Aksobhya, penguasa Timur, mudranya bhumiparca, yaitu sikap tangan memanggil bumi sebagai sakasi (waktu Buddha digoda oleh Mara di bawah pohon bodhi). Amoghasidhi, penguasa Utara mudranya abhaya, yaitu sikap tangan menetrmakan. Ratnasambhaewa, penguasa Selatan, mudranya wara, yaitu sikap tangan memberi anugerah. Para Bodhisattwa selalu digambarkan berpakaian kebesarannya seperti raja. Laksana Awalokiteswara ialah : sebuah arca Amitabha di mahkotanya sebagai Padmapani. Laksana Maiteya ialah : sebuah stupa di mahkotanya. Diantara para Tara, yang terkemuka ialah cyama-Tara, isteri Awalokiteswara, dengan sikap tangannnya dharmacakra. Tidak berbeda halnya pada candi-candi, dalam seni patung ini terlihat pula perbedaan antara langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Pada umumnya di Jawa Tengah arcanya sangat indah, benar-benar menggambarkan seorang dewa dengan semuanya sesuai dengan apa yang dicita-citakan orang. Di Jawa Timur arcanya sedikit kaku, dan sengaja disesuaikna dengan maksud yang sesungguhnya, yaitu menggambarkan seorang raja dan pembesar negara yang telah wafat. Di titik dari sudut keagamaan ini, maka sebenarnya keindahan tidak dapat dipakai sebagai ukuran arca-arca Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi antara arca-arca Jawa Tengah Selatan dan arca-arca Jawa Utara perbedaan yang menyolok justru terletak dalam keindahan itulah. Seperti halnya juga pada bangunan-bangunannya, maka arca dari Jawa Tengah Utara bersifat lebih sederhana, tetapi sebaliknya lebih bersifat kerakyatan, daripada arca-arca di bagian Selatan Jawa Tengah yang umumnya sangat megah dan kaya. Di samping perbedaan perbedaan pokok sperti yang digambarkan di atas, berbagai ciri yang terdapat pada arca-arca ,menjadi petunjuk untuk menempatkannya dalam sejarah tertentu. Kecuali arca-arca dewa seringkali kita jumpai pada arca-arca wahana (kendaraan) seorang dewa, seperti nandai, garuda dan sebagainya. Sampai sekarang arca-arca yang diperbincangkan adalah arca-arca bulat (berdiri sendiri) atau hampir bulat (belakangnya bersatu dengan sandarannya). Banyak pula, bahkan sebenarnya lebih banyak lagi arca-arca yang dipahat secara relief. Arca-arca pada relief tersebut biasanya dipahatkan pada dinding candi, dan menggambarkan dewa-dewa dari tingkatan yang lebih rendah, yang disebut dewata. 3. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD SENI UKIR Hasil-hasil seni pahat ukir terutama sekali berupa hiasan-hiasan pengisi bidang pada dinding-dinding candi. Yang menjadi pola hiasan ialah mahluk-mahluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan, sesuai dengan suasan Gunung Mahameru. Diantara mahluk-mahluk ajaib itu yang selalu terpancang pada ambang pintu atau relung adalah kepala Kala, yang disebut juga banaspati (raja hutan). Pada candi-candi Jawa Tengah banaspati ini dirangkai dengan makara. Makara adalah semacam ikan yang mulutnya terbuka, sedangkan bibir atasnya melingkar ke atasnya melingkar ke atas seperti belalai gajah yang diangkat. Mahluk-mahluk ajaib sering kali sudah disamarkan persis menjadi hiasan daun-daunan. Daun-daunan ini menjadi pola utama dalam ukiran-ukiran, dan biasanya dirangkai oleh sulur-sulur yang melingkar meliku menjadi sulur gelung. Di samping daun-daunan dan sulur-sulur banyak pula dipakai bunga teratai sebagai pola, baik yang kuncup maupun yang sudah berkembang. Bunga teratai ada 3macam: yang merah, dinamakan padma ; yan biru, dinamakan utpala ; dan yang putih dinamakan kumuda. Warna pada bunga teratai ini tidak diperlihatkan, tetapi cara menggambarkannya berbeda-beda. Bunga-bunga itu teratai seringkali dirangkai dalam bidang-bidang bujur sangkar atau belah ketupat dan menutupi suatu bidang dinding bagaikan permadani. Pada berbagai candi, terutama di Jawa Tengah terdapat hiasan gambar pohon. Kebanyakan dari pohon-pohon itu melambangkan Kalpataru atau parijata, yaitu pohon yang dapat memberi segala apa yang diinginkan dan diminta oleh manusia. Macam hiasan yang lain, yang hanya bukan penghias atau pengisi bidang belaka, teatapi relief-relief yang melukiskan suatu cerita. Cerita-cerita ini diambil dari kesusasteraan, seperti Ramayana, dan kitab-kitab keagamaan seperti Karmawibhangga, Kunjarakanja, dan sebagainya. Adapun relief cerita yang terpenting yakni diantaranya sebagai berikut : 1. Candi Borobudur Karmawibhangga, menggambarkan perbuatan manusia serta hukuman-hukumanya, terdapat di bagian kaki yang ditimbun ; Lalitaswara, cerita riwayat Buddha Gautama sejak lahir samapi mendapat bodhi ; terdapat pad tembok lorong pertama ; Gandawyuha, yang menceritakan usaha Sudhana mencari ilmu yang tertinggi ; terdapatnya pada dinding loromg kedua dan seterusnya. 2. Kelompok Loro Jonggrang Ramayana terdapat pada langkan Candi Syiwa dan diteruskan pada langkan Candi Brahma; Kresnayana, terdapat pada Candi Wisnu. 3. Candi Jago Krenayana, Parthayajna dan Kunjarakarna ; pada relief-relief ini untuk pertama kalinya kita jumpai tokoh-tokoh punakawan, yaitu bujang yang menjadi pelawak, yang selalu mentertai sorang ksatria. 4. Candi Panataran : Ramayana dan Kresnayana 5. Candi Surowono (dekat Kediri) : Arjunawiwaha. 4. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD BARANG-BARANG LOGAM Selain arca-arca dari batu, banyak sekali juga arca-arca terbuat dari logam. Sebagian besar dibuat dari perunggu. Ada juga yang dibuat dari emas, perak, dan perunggu berlapis emas. Pada umunya araca-arca logam itu berukuran kecil. Maka tentu araca-arca ini dipakai untuk pemujaan-pemujaan di rumah. Berkaitan dengan hali in, arca-arca logam mudah sekali dibawa kemana pun, dan sulit untuk menentukan apakah suatu arca di dapatkan di Jawa Timur misalnya benar-benar disana asalnya dan tidak dari tempat lain. Karena itu, sulit juga untuk menentukan dari zaman sejarah asal dari suatu arca logam jika tidak disertai keterangan yang nyata, misalnya tulisan dan angka tahun. Tempat arca tersebut dalam rangkaian sejarah hanya dapat diperkirakan berdasarkan corak dan bentunya. Ada pula berbagai arca logam yang berukuran besar. Dari Sulawesi Selatan terdapat sebuah arca Buddha sebesar manusia. Lebih besar lagi adalah arca perunggu dari Candi Sewu. Sayangnya arca ini sudah lenyap, tetapi ditemukan kembali beberapa ikal dari rambutnya. Ternyata arca perunggu yang besar-besar itu pada suatu ketika orang tidak memujanya lagi, bahkan dirusak untuk dilebur dan kemudian dijadikan barang-barang keperluan lainnya. Banyak pula dari arca perunggu hanya didapatkan kembali tangannya saja atau bagian-bagian lainnya. Adapun cara yang digunakan untuk menuang arca-arca logam ialah cire perdue. Dengan demikian maka bagian-bagian yang halus sekali dapat terlihat dengan jelas, misalnya kalung, subang, jamang, dan perhiasan-perhiasan lainnya. Disamping arca, masih banyak lagi benda-benda lainnya yang terbuat dari logam (perunggu), yakni lampu gantung yang memiliki bentuk dan jenis beraneka ragam, indah dan halus buatannya ; genta, yang besar untuk dgantung di biara dan yang kecil untuk keperluan saji para pedanda ; jambangan dan mangkuk untuk keperluan menempatkan air suci ; talam yang rupanya seperti baki bundar besar dan yang permukaannya sering kali dihiasi dengan ukiran bunga teratai yang indah sekali; pedupaan dan lain-lain. Barang-barang perhiasan dari emas banyak juga dipakai, seperti cincin yang bermata atau tidak, cincin yang berukiran ragam hias, cincin cap yang memuat ucapan keselamatan (biasanya perkataan “Cri”), gelang, rantai, kalung, jamang, dan sebainya. 5. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD KESUSASTERAAN Dari zaman purba samapi sekarang sejumlah besar hasil kesusasteraan (lebih dari 1000 buah naskah), memperlihatkan betapa tingginya seni sastra saat itu. Hasil-hasil kesusasteraan zaman purba terutama berasal dari Jawa, namun naskah-naskahnya sekarang ini kita dapatkan di Bali. Hal ini disebabkan, karena naskah-naskah itu dituliskan di atas daun lontar yang tidak dapat bertahan sampai berabad-abad, dan waktu masyarakat Jawa sudah memeluk agama Islam naskah-naskah tidak lagi mendapat perhatian. Maka akhirnya kitab-kitab lontar (kropak) itu lenyap. Dengan begitu maka masyarakat yang bercorak Hindu di Bali sungguh merupakan keuntungan besar sekali. Di sana kropak-kropak selalu disimpan baik-baik dan dipelihara terus, sedangkan kepandaian menulis di atas daun lontar masih tetap dipertahankan dan penghargaan terhadap kesusasteraan lama itu masih menjadi kebanggaan. Naskah-naskah yang sudah tua disalin dan diperbaharui, sehingga kesusasteraan kuno masih tetap hidup, meskipun hurufnya yang dipakai bukan lagi huruf Jawa Kuno melainkan huruf Bali. Menurut waktu perkembangnnya, kesusassteraan zaman purba dibagi menjadi, zaman Mataram (sekitar abad ke-9 dan 10), zaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), zaman Majapahit I (sekitar abad ke-14), dan zaman Majapahit II (sekitar abad ke-15 dan 16). Adanya dua zaman Majapahit tersebut berdasarkan bahasa yang dipakai. Melihat bentuk gubahannya, hasil kesusateraan zaman purab ditulis sebagai gancaran (prosa) dan tembang (poosi). Sebagian besar adalah tembang. Tembang Jawa Kuno pada umumnya disebut kakawin, sedangkan tembang Jawa Tengah dinamakan Kidung. Ditinjau dari sudut isinya, maka kesusasteraan zaman purba terdidri atas Tutur (kitab keagamaan, seperti Sang Hyang Kamahayanikan), Castra (kitab hukum), Wiracarita (cerita kepahlawanan, seperti Mahabrata), kitab-kitanb lainnya yang isinya mengenai keagamaan dan kesusilaan, dan kiatb-kitab yang dimaksud sebagai uraian sejarah (Negarakertagama). Castra dapat dikemukakan, bahwa termasuk di dalamnya adalah kitab-kitab yang disebut casana, yaitu khusus berisi peraturan-peraturan untuk golongan masyarakat tertentu, misalnya Rsicasan yang menguraiakn kedudukan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pendeta. Wiracarita perlu diketahui, bahwa yang menjadi sumber dan bahan adalah kitab-kitab India, yang di Indonesia sama sekali tidak terasa asing, yakni Ramayana dan Mahabrata. Kedua wiracarita ini menimbulkan berbagai macam cerita lain, yang masing-masing berdiri sendiri sebagai suatu cerita bulat. Berhubungan dengan kenyataan ini, maka sebelum kita meninjau hasil-hasil kesusasteraan Jawa Kuno, kita lebih dahulu mengetahui isi dari kitab Ramayana dan Mahabrata India. RAMAYANA Kitab ini dikarang oleh Walmiki sekitar awal tarikh Masehi, terdiri atsa 7 jilid (kanda) dan digubah dalam bentuk syair 24.000 seloka. Ketujuh Kanda itu adalah : 1. Bala-kanda Berisi mengenai sisilah dan anggota keluarga dari Rama. Ayah Rama adalah seorang raja bernama Dasaratha di negeri dengan ibukotanya Ayodhaya, mempunyai tiga isteri : Kausalya ibu dari Rama, Kaikeyi ibu dari Bharata, dan Sumitra ibu dari Laksamana dan Catrughna. Dalam Swayamwara di Wideha Rama berhasil memperoleh Sinta, anak raja Janaka, sebagai isteri. 2 Ayodhya-kanda Berisi mengenai keinginan raja Dasaratha untuk menyerahan kekuasaan tahta kepada Rama, tetapi isterinya yang bernama Kaikeyi menentang keinginan raja tersebut dan ia meminta raja untuk menyerahkan kekuasaan tahta itu kepada puteranya Bharata karena dianggap paling pantas menerimanya. Selain itu Kaikeyi juga meminta agar Rama diasingkan ke hutan selama 14 tahun. Raja Dasartha pun tidak bisa menolak permintaan isterinya Kaikeyi, karena ia terikat pada janji. Raja pun sangat bersedih atas hal itu. Sebaliknya Rama dengan ikhlas melepaskan haknya atas tahta kerajaan dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Rama pergi meninggalkan Ayodhaya bersama isterinya dan Laksamana. Tidak lama kemudian raja Dasaratha wafar. Bharata menolak untuk dinobatkan sebagai raja, lalu ia pergi hutan mencari Rama untuk membujuk agar kembali ke Ayodhaya. Namun Rama tetap berpendiria teguh untuk mengembara selam 14 tahun. Bharata akhirnya pulang ke Ayodhaya dengan membawa terompah Rama. Terompah inilah yang diletakkan di atas singasan, sebagai lambang bagi Rama yang seharusnya menjadi Raja yang sah. Ia sendiri hanya memerintah atas nama Rama. 3. Aranya-kanda Berisi mengenai suasana kehidupan Rama beserta saudara dan isterinya di dalam hutan. Rama seringkali membantu para pertapa yang diganggu oleh raksasa. Diceritakan pula bahwa ia berjumpa dengan raksasa perempuan bernama Surpanakaha yang jatuh cinta kepadanya. Oleh laksamana raksasa ini dipotong telinga dan hidungnya. Perbuatan ini diadukan Surpanakha kepada kakaknya Rahwana, seorang raja raksasa yang berkepala sepuluh dan memerintah di Langka. Rahwana pergi ke tempat Rama, dengan maksud menculik Sita sebagai pembalsannya terhadap penghinaan adiknya. 4. Kiskinaha-kanda Berisi mengenai perjumpaan Rama dengan Sugriwa, seorang raja kera, kerajaan serta isterinya telah direbut olleh saudaranya sendiri yang bernama Walin. Rama lalu bersekutu dengan Sugriwa, ia membantu Sugriwa dalam merebut kembali kerajaan dan isterinya. Sebaliknya Sugriwa pun membantu Rama untuk membebaskan Sinta dari Rahwana. Disini diceritakan pula mengenai pertempuran pasukan Sugriwa bersama Rama melawan pasukan Walin. 5. Sundara-kanda Menceritakan mengenai sosok Hanuman, kera kepercayaan Sugriwa dan anak Dewa Angin dan diceritakan juga peran Hanuman dalam membantu Rama untuk mencari dan membebaskan isterinya Sinta dari tangan Rahwana. 6. Yuddha-kanda Menceritakan mengenai peristiwa peperangan antara pasukan Rama bersama Sugriwa dan Hanuman dibantu pula Dewa Laut melawan pasukan Rahwana. Peperangan ini dimenangkan oleh Rama berakhir dengan terbunuhnya Rahwana. Selain itu disebutkan pula bahwa setelah berhasil membebaskan Sinta, Rama meragukan kesucian Sinta. Hal ini tentu membuat Sinta sedih. Rama menjelaskan bahwa ia tidak ragu dengan kesucian Sinta apabila terbukti di hadapan mata rakyat. Rama dan Sinta besrta adiknya Laksamana lalu kembali ke Ayodhaya, dan Bharata menyerahkan tahtanya kepada Rama. 7. Uttara-kanda Dua pertiga dari buku berisi berbagai macam cerita yang tidak ada hubungannya dengan riwayat Rama. Yang sepertiga lagi menceritakan lanjutan riwayat Rama, tetapi sedikit bertentangan dengan bagian akhir kitab yang ke-6. maka ada dugaan kuat, bahwa buku ke-7 ini merupakan tambahan kemudian. Diceritakan, bahwa keraguan Rama akan kesucian Sinta sampai terdengar rakyat. Sehingga untuk memberi contoh yang baik kepada rakyat, maka diusirlah Sinta dari istana. Sinta kemudian pergi ke pertapaan Walmiki. Di sana ia melahirkan dua orang anak laki-laki kembar yang diberi nama Kuca dan Lawa, yang kemudian dibesarkan oleh Walmiki. Sewaktu Rama mengadakan Aswamedgha, Kuca dan Lawa hadir di istana sebagai pembawa nyanyi-nyanyian. Setelah mengetahui bahwa Kuca dan Lawa adalah anaknya sendiri, maka Rama pun memerintahakan Walmiki untuk membawa Sinta kembali ke istana. Setiba di istana Sinta pun bersumpah seandainya ia benar-benar tidak suci maka terbelahlah perut bumi. Seketika itu belahlah perut bumi dan muncullah dewi Prthwi di atas singasana emas didukung ular-ular naga. Sinta dipeluknya dan lenyap ke dalam bumi. Rama sangat menyesali perbuatannya, ia tidak memperoleh isterinya kembali. Kemudian ia menyerahkan mahkotanya kepada kedua anaknya, dan kembalilah ia ke kayangan sebagai Wisnu. MAHABRATA Kitab ini terdiri atas 18 jilid (parwan), yang masing-masing terdiri atas beberapa bagian (juga disebut parwan) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 100.000 seloka. Isinya bermacam-macam, disisi-sisipkan dalam rangkaian cerita pokoknya. Cerita pokok ini meliputi 24.000 seloka, dan sebagian besar menceritakan peperangan sengit selama 18 hari antara para Pabdawa dan Kurawa. Maka nama lengkapnya dari kitab ini ialah Mahabratayuddha yang berarti peperangan besar antara keluarga Bharata. Berikut ini adalah 18 parawan yang terdapat pada kitab Mahabrata yaitu : 1). Adi-parwan, isinya mengenai asal-usul dan masa kanak-kanak para Pandawa dan Kurawa. 2). Sabha-parwan, isinya mengenai usaha atau strategi Para Kurawa untuk membinasakan para Pandawa. Diantaranya yakni dengan bermai dadu. Dalam permainan dadu tersebut para Kurawa dan Pandawa melakukan taruhan, bagi yang kalah harus mengalami pembuanagan selama 12 tahun ; pada tahun ke-13 boleh kembali ke masyarakat, teapi tidak boleh dikenal orang, dan baru pada tahun ke-14 kembali ke istana. Permainan ini dimenangkan oleh Kurawa dan para Pandawa, mereka pergi ke hutan untuk menjalani buangan selama 13 tahun. 3). Wana-parwan, isinya mengenai pengalaman-pengalaman para Pandawa selama 12 tahun di dalam hutan. 4.) Wirata-parwan, isinya mengenai keluarnya para Pandawa dari hutan dan singgah serta menetap di kerajaan Wirata. 5). Udyoga-parwan, isinya mengenai kembalinya para Pandawa ke Indraprastha dengan perantaraan Kresna, tetapi ternyata para Kurawa tidak bersedia menyerahkan tahta kerajaan kepada para Pandawa, sehingga timbulah peperangan antara kedua pihak tersebut. 6). Bhisma-parwan, isinya mengenai pertempuran antara pasukan Pandawan melawan pasukan Kurawa selama sepuluh hari. 7) Drona-parwan, isinya mengenai Drona yang menggantikan posisi panglima perang. Ia ditandingi oleh Gatotkaca, tetapi Gatotkaca terbunuh. Abhimanyu, anak Arjuna juga gugur oleh Dussana. Raja Drupada pun gugur. Drsadyumma mengamuk, dan pada hari ke-15 Drona terbunuh olehnya. 8). Karna-parwan, isinya mengenai kemarahan Arjuna dan Bima atas gugurnya Gatotkaca. Bima berhasil membunuh Dussana, sedangkan Arjuna berhasil membunuh Karna (hari ke-17) dengan panahnya yang ia peroleh waktu pertapa dulu. 9). Calya-parwan, isinya mengenai pergantian panglima perang para Kurawa yang dijabat oleh Calya. Duryodhana ditinggalkan saudara-saudaranya sendiri yang selama 18 hari gugur satu per satu. Ia mengundurkan diri dari peperangan dan bahkan menyerahkan seluruh kerajaannya kepada para Pandawa, dan ia sendiri hendak meninggalkan dunia ramai. Sikap Duryodhana menjadi ejekan para Pandawa, akhirnya ia memutuskan perang melawan Bima dalam peperngan ini Duryodhono gugur, tetapi sempat mengangkat Aswatthaman menjadi panglima perang. 10). Sauptika-parwan, isinya menceritakan Aswatthaman yang dapat menahan dendamnya terhadap tentara Pandawa, sehingga pada seusai pertempuran hari ke-18 ia menyusup ke dalam kemah-kemah Pancala, dan berhasil membunuh banyak orang termasuk Dhrstadyumna sendiri. Kemudian Aswatthaman melarikan diri ke dalam hutan, dan berlindung di pertapaan Wyasa untuk mengungkapkan penyesalannya. Keesokan harinya ia disusul oleh para Pendewa, lalu timbullah perkelahian antara dia dengan Arjuna . wyasa dan Kresna dapat menyelesaikan pertikaian itu, Aswatthaman menyerahkan semua senjata dan kesaktiannya, lalu mengundurkan diri. 11). Stri-parwan, isinya mengisahkan mengenai Dhrtarastra dan Gandhari, para Pandawa dan Kresna, dan semua isteri para pahlawan datang di Kuruksekta. Mereka menyesali semua yang telah terjadi, dan hari itu adalah hari berduka. Semua pahlawan yang telah gugur, dibakar bersama. 12). Canti-parwan, isinya menceritakan setelah sebulan lamanya para Pandawa tinggal dalam hutan, untuk mensucikan diri. Yudhistira segan sekali untuk menduduki tahta kerajaan yang telah memakan korban banyak, dan ia menawarkan Arjuna untuk menjadi raja. Wyasa dan Kresna membujuk dan menenangkan hati Yudhistira dengan nasehat-nasehat tentang nasib manusia dan kewajiban manusia terhadap kaun ksatria. Akhirnya para Pandawa kembali ke istana, dan Yudhistira menjalankan kewajibannya sebagai raja. 14). Anucasana-parwan, isinya menceritakan berbagai macam cerita, yang dirangkai sebagai wejang-wejangan mengenai soal kebatinan dan kewajiban raja, ditujukan kepada Yudhistira. 15). Aswamedhika-parwan, isinya mengisahkan mengenai Yudhistira mengadakan selamatan Aswamedha. Seekor kuda dilepaskan oleh Arjuna dan sepasukan tentara. Selama satu tahun kuda itu mengembara, dan tiap jengkal tanah yang dilaluinya menjadi daerah kekuasaan Yudhistira. Banyak pula raja yang menentang, tetapi mereka ditaklukkan oleh Arjuna. 16). Acramawasika-parwan, isinya menceritakan Dhrtarastra beserta isterinya dan Kunti mengasingkan diri ke dalam hutan untuk menjadi petapa. Tiga tahun kemudian mereka meninggal karena hutan tempat mereka tinggal terbakar oleh api Dhrtarastra sendiri. 17). Mausala-parwan, isinya mengisahkan musnahnya kerajaan Kresna akibat berkobarnya perang saudara di antara kaum Yadawa, rakyat Kresna sendiri. Baladewa mati, dan Kresna menlarikan diri ke dalam hutan, dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu. 17). Mahaprasthanika-parwan, isinya menceritakan bahwasanya para Pandawa mengundurkan diri dari dunia ramai, setelah mahkota diserahkan kepada Parikist, anak Abhimanyu. Dalam pengembaraan di hutan satu persatu meninggal, diantaranya yakni Draupadi, Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima. Yang tersisa ialah Yudhistira dengan seekor anjing, yang selalu mengikuti pengembaraan para Pandawa. Lalu datanglah Indra untuk menjemput Yudhistira ke Surga. Namun, Yudhistira menolak, jika anjingnya tersebut tidak ikut serta. Tiba-tiba anjing tadi menjelma menjadi dewa Brahma. Yudhistira kemudian langsung dibawa ke Indraloka. 18). Swargarohana-parwan, isinya menceritakan para Pandawa setelah mengalami pembersihan jiwa neraka untuk beberapa lama, masuk di surga. Sebaliknya para Kurawa, mula-mula ditempatkan di surga, kemudian berganti dimasukkan ke dalam neraka untuk masa yang tidak menentu. Kitab Ramayana dan Mahabrata telah disadur dalam bahasa Jawa Kuno : Ramayana pada akhir abad ke-9 dalam bentuk kakawin yang bahasanya indah sekali, dan Mahabrata pada akhir abad ke-10 dalam bentuk gencaran yang diringkas. Kedua saduran itu, bersamaan dengan kitab Sang Hyang Kamhayanikan yang disusun pada zaman Mpu Sindok dan berisi uraian tentang agama Buddha Mahayana yang sudah bersifat Tantrayana, merupakan hasil-hasil kesusasteraan Jawa Kuno yang tertua. Seperti sudah kita ketahui, kejayaan seni sastra Jawa kuno berlangsung di zaman Kediri. Hasil-hasilnya terutama sekali berupa kakawin diantaranya yang terpenting ialah : 1. Arjunawiwaha, karangan Mpu Kanwa. 2. Kresnayana, karangan Mpu Triguna. 3. Sumanasantaka, karangan Mpu Monaguna. 4. Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja. 5. Bharatayuddha, karangan Mpu Sedah. 6. Hariwangsa, karangan Mpu Panuluh. 7. Gatokacasraya, karangan Mpu Panuluh. 8. Writasancaya, karangan Mpu Tanakung. 9. Lubdhaka, karangan Mpu Tanakung (sudah zaman Ken Arok). Hasil-hasil kesusasteraan zaman Majapahit I yang terpenting adalah : 1. Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca, tahun 1365 M. 2. Sutasoma, karangan Mpu Tantular. 3. Arjunawijaya, karangan Mpu Tantular. 4. Kunjarakarna, karangan anonim. 5. Parthayajna, karangan anonim. Hasil-hasil kesusasteraan zaman Majapahit II (bahasa Jawa Tengah) ada Yang ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan ada pula yang gencaran. Yang terpenting di antaranya adalah : 1. Tantu Panggelaran. 2. Calon Arang. 3. Korawacrama. 4. Bubhuksah. 5. Pararaton. Dimaksudkan sebagai kitab sejarah adalah : 6. Sundayana. 7. Panji Wijayakrama. 8. Rangga Lawe. 9. Sarandaka. 10. Pamancangah. 11. Usana Jawa. 12. Usana Bali. 6. HASIL KEBUDAYAAN LAINNYA Selain hasil-hasil kebudayaan yang disebutkan di atas, dari relief-relief dan kitab-kitab dapat pula kita ketahui berbagai hal lainnya. Misalnya, seni lukis tidak meninggalkan sesuatu bekas. Namun pada relief-relief Borobudur kita jumpai sebuah gambar pigura yang menggambarkan potret seseorang. Adegan di sini melukiskan dua orang kekasih yang sedang saling bertukar potret. Tentunya saat itu belum ada potret (foto). Maka yang dipahatkan pada relief itu adalah sebuah lukisan. Dalam kitab Negarakertagama terdapat juga bukti-bukti akan dikenalnya seni lukis. Sebelum Hayam Wuruk meminang puteri Sunda, terlebih dahulu ia mengutus seorang pelukis untuk membuat lukisan sang puteri tersebut. Ada juga sebuah berita Tionghoa yang menceritakan bahwa seorang raja di Indonesia pada suatu ketika bermimpi berjumpa dengan kaisar Tionghoa. Karena sang raja pandai melukis, maka kaisar dalam impian itu dilukislah olehnya. Seorang utusan kemudian dikirim ke Tiongkok untuk mencocokkan lukisan itu dengan kenyataannya. Laporan utusan tersebut membenarkan kecocokannya. Tentang tari-tarian kita banyak kita jumpai contohnya pada relief-felief. Para penari, baik laki-laki maupun perempuan, menari atas irama gamelan. Dan dari Negarakertagama kita ketahui, bahwa Hayam Wuruk waktu mudanya terkenal sebagai penari yang baik dalam sandiwara topeng. Mengenai gamelan ternyata cukup menarik perhatian, bahwa gendang seringkali menjadi alat musik satu-satunya. Alat-alat bunyi-bunyian dari perunggu, seperti saron, bonang, dan bermacam-macam gong kecil, banyak pula ditemukan lagi, dan rupanya tangga nada yang dipakai adalah yang kini dinamakan Slendro dalam bahasa Jawa. Sedangkan mengenai wayang dapat diketahui dari kitab Arjunawiwaha, bahwa pertunjukkan itu sudah digemari rakyat pada zaman pemerintahan Airlangga. Beberapa prasasti zaman ini menyebutkan pula adanya wayang atau aringgit yang berarti dalang dalam bahasa sekarang. KESIMPULAN : Pada zaman sejarah manusia telah memiliki rasa, daya cipta dan karsa yang cukup tinggi. Dengan adanya ketiga komponen tersebut maka manusia akhirnya mampu mengembangkan pola pikir dan kreatifitasnya sehingga menyebabkan lahirnya kebudayaan. Melalui kebudayaan manusia menciptakan berbagai hasil-hasil penting, seperti candi, patung (arca), ukir-ukiran(relief), barang-barang logam dan lain-lain. Hasil-hasil penting tersebut tentunya sangat menunjang kehidupan manusia pada masa itu, bahkan hingga di masa sekarang. Karena selain beperan penting dalam memajukan kehidupan manusia, ternyata juga turut membangun peradaban bangsa kita tercinta yakni Indonesia yang kaya akan budayanya. Untuk hasil-hasil penting dalam kebudayaan yang masih ada, haruslah terus kita pelihara bersama kelestariannya agar tidak lenyap dan rusak. Karena dengan cara itulah kita dapat memperkokoh khasanah kebudayaan bangsa dan dapat mempersembahkannya untuk anak cucu kita nanti.

MENELUSURI JEJAK-JEJAK MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA

Nusantara Dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan Dunia Pada bidang ekonomi, bangasa Indonesia menjadi unsur penentu terjadinya revolusi perdagangan dunia. Dengan pengembangan kapal bercadik menjadi jung, sektor perdagangan laut tumbuh dengan pesat. Dengan menggunakan jung sebagai armada transportasi dagang pada jalur laut, minimal tiga keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu : 1. Kapasitas angkut. Masyarakat Nusantara dapat mengangkut barang dagangan yang jumlahnya berlipat apabila dibandingkan dengan perlatan sebelumnya. Dengan kapasitas angkut yang dimiliki jung, pedagang menjadi lebih menghemat waktu, tenaga, dan modal. 2. Keamanan lebih terjamin. Dengan mempergunakan kapal jung, pelayaran menjadi lebih nyaman dan aman karena lwbuh mampu mengahadapi berbagai halangan di tengah laut, seperti badai dan perompak. 3. Jangkauan lebih luas. Kekuatan yang dimiliki kapal jung menjadikannya mampu menempuh pelayaran dengan jarak jauh. Pedagang Nusantara menjadi mampu menjangkau berbagai bangsa yang belum pernah dikunjungi. Berbagai keuntungan yang disediakan oleh jalur perdagangan mengakibatkan para pedagang internasional berangsur-berangsur lebih memilih jalur jalur laut sejak zaman Sriwijaya. Peran besar yang dimainkan oleh bangsa Indonesia dalam perdagangan laut internasional mendorong berbagai bangsa untuk ikut melibatkan diri. Pelabuhan-pelabuhan yang dibangun berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan dunia. Bangsa-bangsa yang tercatat aktif melakukan transaksi dagang adalah bangsa Cina dan India. Sudah sejak lama kedua bangsa ini menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa-masa selanjutnya semakin banyak bangsa asing yang ikut terlibat, seperti Jepang dan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Pedagang Islam itu tidak berasal dari satu bangsa, melainkan dari berbagai bangsa di sekitar Arab, antara lain Persia (Iran), Gujarat (India), dan Hadramaut (Yaman Selatan). Para pedagang Persia, Gujarat, dan Hadramaut yang datang ke Indonesia berupaya mencari simpati dari masyarakat setempat. Mereka mendekati para raja dan bangsawan yang memegang peranan dalam dunia perdagangan. Mereka juga bergaul akrab dengan para penduduk yang didatangi. Melalui upaya inilah, komunikasi antara para pedagang dan penduduk berlangsung dengan lancar. Selain itu, transaksi jual beli menjadi sesuatu yang saling menguntungkan. Ketika hendak kembali, para pedagang asing itu menunggu perubahan arah mata angin sambil duduk dengan berbagi pengalaman dan tukar menukar pendapat. Dari sini ajaran Islam tersampaikan. Banyak penduduk yang mencoba memhaminya hingga akhirnya memeluk Islam. Dalam Poses Islamisasi di Nusantara peranan para pedagang muslim sangatlah penting artinya, baik pedagang dari golongan Raja dan keturunannya, kaum hartawan yang menanamkan modalnya dalam suatu saha perdagangan, ataupun sebagai golongan pedagang kelontongan yakni pedagang keliling. Kondisi ini menyebabkan kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan, karena sangat bergantung pada persinggahan para pedagang muslim. Pengaruh ajaran Islam pun tidaklah sama antara daerah yang satu dengan lainnya disebabkan adanya keterkaitan yang erat dengan daerah yang sudah dipengaruhi oleh Hindu-Budha atau yang belum sama sekali mendapatkan pengaruh Hindu-Budha. Jadi tidaklah salah jika awal sejarah masuknya Islam di Indonesia masih menjadi problema dalam sejarah karena sedikitnya data yang memungkinkan untuk merekontruksinya sejarah, “disamping tidak seragamnya pengenalan Islam terhadap seluruh kawasan, juga tingkat penerimaan Islam pada satu bagian wilayah dengan wilayah yang lain tidak hanya bergantung pada waktu pengenalannya, tetapi juga bergantung pada watak budaya lokal yang dihadapi Islam” (Azra, 2002, hlm.19) Fleksibiltas ajaran Islam merupakan unsur penting dalam pelaksanaan Islamisasinya. Tetapi yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana sebenarnya peranan Indonesia (Nusantara) dalam jalur perdagangan dan pelayaran dunia dalam rangka penyebaran dakwah Islam di kawasn ini sangatlah penting, karena dapat memberikan gambaran kapan dan dimana pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Indonesia yang terletak di bagian ujung Dunia Muslim, banyak memberikan kontribusi bagi lalu lintas hubungan pelayaran dan perdagangan kawasan Nusantara dengan Timur Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Afrika termasuk dunia Barat. Srateginya letak geografis Nusantara ini dapat dilihat pada “peta sejarah” dalam jalur pelayaran dan perdagangan dunia yang berimplikasi pada masuknya Indonseia pada abad ke-7 M” (Yamin, 1956, hlm. 7-9). Indonesia merupakan daerah khatulistiwa yang sangat strategis menghubungkan antara kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia Barat, Asia Selatan maupun Afrika dan Teluk Persia. Dan sejak awal Masehi dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia dapat ditempuh melalui dua jalur perdagangan yaitu sebagai berikut : 1. Melalui jalur darat yang dikenal dengan sebutan “Jalur Sutera” yakni dari Cina melalui Asia Tengah dan Turkistan sampai Laut Tengah hingga jalan mengubungkan antara Cina dengan kafilah-kafilah dari India dan Persia. Barang niaganya terutama adalah kain sutera. 2. Melalui Laut yaitu dari Cina dan Indonesia melalui Selat Malaka ke India, Teluk Persia, Laut Merah dan Afrika. Atau sebaliknya dari Teluk Persia, Afrika, India, Indonesia, Selat Malaka dan Asia Timur. Komoditinya terutama adalah rempah-rempah. Kepesatan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dan pesisir Barat Sumatera sejak abad ke-7 M ini, sangat memungkinkan untuk terjadinya akulturasi kebudayaan dan peradaban. Perlak (Aceh) yang terletak di ujung pulau Sumatera merupakan terminal bagi bertemunya anatar pedagang dari Afrika, Arab, India dan Cina yang memberikan kontribusi kebudayaan terutama budaya Islam pada penduduk setempat, karean aktivitas pelayaran dan perdagangan para saudagar Islam selain berniaga, mereka juga banyak bertindak sebagai mubaligh. Sebagaimana yang dikatakan oleh J. Paulus dalam Hasymy (1990, hlm.6) “(Aceh) Perlak merupakan stasiun perantara bagi para pedagang Islam dan dakwah Islam” . Disinilah arti penting Aceh sebafgai kawasn Indonesia pada awal abad ke-1 H atau abad ke-7 M yang turut serta dalam kancah perdagangan dunia memberikan transformasi dalam tatanan ekonmi, politik dan sosial budaya dalam sejarah Indonesia. Aceh sebagai bagian dari wilayah Indonseia yang terletak di Pulau Sumatera, sebelum masuknya Islam, merupakan daerah yang sudah dihuni oleh manusia pemakan kerang yang bermukim di sepanjang Pantai Sumatera Timur Laut, yang dapat dibuktikan dari sisa-sisa makanannya dan perlatan makan yang ditemukan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh telah memiliki kebudayaan. Jika diperhatikan, ajaran suatu agama akan membawa pegaruh besar bagi pola-pola budaya dalam segala aspek kehidupan suatu masyarakat dalam mencapai suatu tujuan hidup secara utuh, hal demikian menunjukkan bagaimana sebenarnya bahwa melalui agama yang dianut suatu masyarakat dalam periode tertentu dapat memberikan gambaran sejarah tatanan kehidupan masyarakatnya. Konsep masuknya Islam di Nusantara pun mencoba menelusuri artefak-artefak yang bercorak Islam sebagai peninggalan budaya agama sehingga para ahli sejarah dapat berusaha menentukan kapan hasil-hasil budaya ini dibuat oleh suatu masyarakat dan menentukan apakah corak hasil budaya ini asli dari masyarakat itu sendiri atau ada hubungannya dengan pola-pola budaya dari luar masyarakt itu sebagai damapk akulturasi. Tadisi pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara dan Indonesia sebagai kawasan Nusantara ini memberikan catatan sejarah dalam proses Islamisasi di Indonesia dengan berbagai tahapan-tahapan yang dilaluinya. Deskripsi Para Ahli Tentang Masuknya Islam di Nusantara Sejarah masuknya Islam di Nusantara menimbulkan banyak tafsiran dari para ahli sejarah dengan argumentasinya yang mempertanyakan kapan, dimana dan bagaiaman proses masuknya Islam di Indonseia. Wacana ini sudah diungkapkan melalui berbagai seminar yang dilakukan para ahli sejarah baik Barat maupun Timur. Barat cenderung mengatakan masuknya Islam di Nusantara abad ke-13 M, yang antara lain dipelopori oleh Snouck Hugronye, J. P. Moquete, R. A. Kern Pijnappel. Sementara para ahli Sejarah Timur lebih memusatkan perhatian pada abad ke-7 M dipelopori oleh Prof. Hamka, T. W. Arnold, Syed Naguib Al Atta yang berpendapat bahwa sebelum abd ke-7 M sudah terjalin hubungan perdagangan dan pelayaran bangsa Arab, India dan Cina di Indonesia (Nusantara), melalui Pantai Timur Sumatera. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada beberapa teori yang diungkapakan para ahli sejarah tentang deskripsi masuknya Islam di Nusantara yaitu sebagai berikut : 1. Teori Gujarat (India) Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonseia pada abad ke-13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adalah: Pertama, kurangnya fakta yamg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran di Indonesia. Kedua, karena adanya hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah-Eropa. Ketiga, adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat (Azra, 2002, hlm 22). Pendukung teori Gujarat (India) ini antara lain dikemukakan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Pijnapel, Snouck Hourgronje, Moqutte yang juga memiliki pandangan yang berbeda bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia sekitar abad ke-13 berasal dari India. Pinnapel berpendapat bahwa Islamisasi di Indonesia dilakukan oleh orang-orang Arab melalui India, terutama Gujarat dan Malabar, dengan argumentasinya bahwa “ada persamaan antara mazhab Syafi’i di India dengan Indonesia. Mazhab Syafi’I ini dibawa oleh orang Arab yang bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar dan kemudian melalui perdagangan membawa Islam ke Indonesia” (Azra, 2002, hlm.24). Sementara Snouck hourgronje berpendapat bhawa “Islam pertama kali masuk ke Indonesia bukan berasal dari Arab, tetapi dari India karena sudah lama terjalin hubungan dagang antara India dengan Indonesia dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatera dengan Gujarat” (Suryanegara, 1996, hlm.75). Tampak perbedaan yang nyata dari kedua ahli Belanda ini menelusuri asala masuknya Islam ke Nusantara dengan berbagai argumen yang diajukan dan tetap berspekulasi antara abad ke-12 dan ke-13 merupakan awal masuknya Islam ke Indonesia, meskipun akhirnya Snouck mengatakan “Muslim Dhaka adalah sebagai perantara dalam perdagangan antara Muslim Arab terutama yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah Saw. dan menjalankan dakwah Islam dengan Indonseia (Azra, 2002:25). Jelas di sini Snouck secara implisit mengakui bahwa Islam tetap berasal dari Muslim Arab. Sementara itu Moquette mengatakan bahwa “memang ada persamaan antara gaya batu nisan Makam Sultan Nahrasyah yang ada di Pasai (Aceh) 1428 M dan di Gresik 1419 M (Jawa Timur) nisan Makam Malik Ibrahim dengan batu nisan yang ada di Cambay (Gujarat) nisan Makam Umar Ibn AL kazaruni tahun 1333 M. Sehingga hal ini menunjukkan ada hubungan antara Indonesia dengan Gujarat” (Yusuf, 2006, hlm.36). spekulasi Moquette ini jelas menunjukkan batu nisan dari Gujarat tidak hanya diproduksi untuk pasar loakal tetapi juga untuk di ekspor ke luar negeri seperti indonesia, dengan demikian Moquette menganggap secara tidak langsung orang Indonesia juga mengambil Islam dari wilayah Gujarat. Tetapi ada yang mengganjal jika diperhatikan tahun pada batu niasan di Pasai dengan di Gresik seolah-olah pengaruh Islam pertama kali masuk di Gresik. Deskripsi para ahli yang mendudkung teori Gujarat ini lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam. 2. Teori Arab (Mekkah) Teori ini merupakan teori yang baru muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu Gujarat. Teori Makkah berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah : Pertama, pada abad ke-7 yaitu tahun 674 di panatai Barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. Kedua, Kerajaan Samudera Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’I terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat atau India adalah penganut mazhab Hanafi. Ketiga, Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar Al-Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir. Demikian Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan 1963, “menolak kesimpulan Gujarat yang mengabaikan pernah orang Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, sementara orang Arab memiliki kekuatan perdagangan dan pelayaran, sedangkan Gujarat hanya merupakan kota persinggahan” (Hasymy. 1981, hlm. 222). Selanjutnya Hamka (Hasymy, 1981, hlm. 221)mengatakan tidaklah salah jika dikatakan “Aceh sebagai Serambi Mekkah, karena merupakan suatu kenyataan sejarah, Aceh adalah tempat awal kerajann Islam di Indonesia, dan sebagai tempat pusat pendidikan Agama Islam”, di sini Hamka bertitik tolak pada Ulama Besar yang dimiliki Aceh yaitu Syaikh Aminuddin dan Abdurrauf as Sinkily, Hamzah Fanshuri, Nurruddin ar-Raniry, yang banyak memberikan ilmu Syariat dan Haqiqat pada masyarakatnya yang berpengaruh terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Untuk meluruskan pandangan para ahli sejarah di atas ada baiknya memperhatikan pandangan dari Thomas Arnold yang mengatakan “Islam masuk ke Indonesia berasal dari Arab, dimana para pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan antara Barat dan Timur sejak awal abad ke-7 M dan abad ke-8 M. Dapat diduga mereka juga menyebarakan agama Islam ke Indonesia” (Yusuf, 2006, hlm. 38). Pandangan Arnold ini dapat dipertimbangkan, karena berdasarkan sumber Cina, menyatakan “menjelang abad ke-7 M seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir Barat Sumatera. Beberapa orang Arab ini melakuakan kawin campur dengan penduduk pribumi sehingga kemudian membentuk sebuah komunitas Muslim” (Azra, 2002:27). Dalam historigrafi tradisional, seperti dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (1350 M), disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang dari Mekkah melalui Malabar menuju Pasai dan mengislamkan raja Pasai Merah Silu yang kemudian bergelar Malik al Shalih. Dalam Sejarah Melayu (1500 M) menerangkan tentang Parameswara penguasa Malaka, diislamkan oleh Sayyid Abd al-Aziz seorang Arab yang berasal dari Jedah, setelah menganut agama Islam, Parameswara bergelar Sultan Muhammad Syah. Kemudian dalam Hikayat Merong Mahawangsa menjelaskan bahwa penguasa Kedah Phra Ong Mahawangsa, para menteri dan rakyatnya diislamkan oleh Syaikh Abd Allah Yamani yang datang dari Mekkah. Setelah menganut agama Islam Phra Ong Mahawangsa bergelar Muzafah Syah. Jelas sekali dalam pengislaman di wilayah jalur pelayaran dan perdagangan internasional” (Hamka, 1963, hlm. 17). Demikian Azra (2002, hlm. 31) mengungkapkan empat hal yang disampaiakn historiografi tradisional yang berkaitan dengan Islamisasi di Indonesia yaitu : 1. Islam Indonesia dibawa langsung dari tanah Arab. 2. Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah yang profesional. 3. Yang pertama kali masuk Islam berasal dari kalangan penguasa. 4. Sebagian besar juru dakwah itu datang ke Indonesia pada abad ke-12 M dan abad ke-13 M, walaupun sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 M sudah ada orang Indonesia yang menganut agama Islam, tetapi masih dalam taraf pengenalan dan baru pada abad ke-12 s/d abad ke-16 pengaruh Islam di Indonseia tamapak lebih jelas dan meluas. Dari keterangan di atas dapat dipahami, argumentasi dalam teori Arab lebih menekankan pada peranan kaum Muslim Arab sendiri yang melakukan Islamisasi baik karena adanya motif ekonomi, sosial-budaya maupun politik. 3. Teori Cina Teori ini menyatakan bahwa Islam datang bukan dari Timur Tengah, Arab maupun Gujarat ataupun India tetapi dari daratan Cina, dimana pada abad ke-9 M banyak orang Muslim Cina di Kanton dan wilayah Cina Selatan yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera karena “pada masa pemrintahan Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina Selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam” (Alqurtuby, 2003, hlm. 215). Memang tidak dapat dipungkiri pengaruh Cina sangat kental dalam arsitektur pada Masjid kuno di Demak, Banten. Selain itu perlu diketahui juga “pada abad ke-8 M s/d 11 M sudah ada pemukiman Arab Muslim di wilayah Cina dan di Campa yang memnag sudah mengadakan hubungan perdagangan dengan Indonesia” (Yusuf, 2006, hlm.42). Pada teori Cina ini telah menunjukkan bahwa berdasarkan fakta sejarah dengan artefak-artefak yang antara alin terdapat arsitektur Masjid, juga memberikan gambaran hubungan antara Cina dan wilayah Indonesia memang sudah terjalin sebelum abad ke-7 M dan berdasarkan beberapa catatan sejarah, Raden Fatah sebagai sultan yang berperan dalam penyiaran agama Islam adalah keturunan Cina yang mempunyai nam Cina Jin Bun, Sunan Ampel atau Raden Rahmat nama Cinanya Bong Swi Hoo (de Graaf, 1998, hlm. Vii). Jadi teori ini memberikan juga gambaran bahwa Islam pun kemungkinan besar berasal dari daratan Cina. 4. Teori Persia Dalam teori ini lebih menekankan pada Islam masuk ke Indonsia abad ke-13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Yang diungkapkan oleh Hosein Djajadininggrat (1963, hlm. 102) menyatakan bahwa : “Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M di Sumatera yang berpusat di Samudera Pasai, pembawanya bersal dari Persia (Iran) dengan argumentasinya adanya persamaan budaya yang berkembang dikalangan masyarakat Indonesia dengan budayua yang ada di Persia seperti adanya peringatan 10 Muhram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Syiah untuk memperingati hari kematian Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad. Di Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. Kemudian adanya persamaan antara ajaran al-Hallaj, tokoh sufi Iran Syeikh Siti Jenar”. Teori ini ditunjang dengan pendapat Mueas dalam Boekhari (1971, hlm. 22) yang menyatakan “pada abad ke-5 M, pada masa raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia dan ulamanya sperti Tajuddin al-Syirazi dan Syyaid Syarif al-ashbahani yang berada di Aceh dan kata Pasai berasal dari kata Persia”. Sebagaimana pendapat dari Pijnapel mengatakan bahwa Islam di indonesia, “disamping dari Arab juga mendapat pengaruh dari Persia, dengan bukti adanya jalur perdagangan dari Teluk Persia ke Pantai Barat India dan terus menuju kawasan Asia Tenggara melalui selat Malaka” (Boekhari. 1971, hlm. 21). Menyimak uraian di atas, dapatlah dipahami bagaimana masing-masing para sejarawan menyimpulkan dengan teori-teori yang dikemukakannya lebih banyak merefleksikan argumentasinya pada masalah masuknya Islam di Indonesia sebagai akibat dari adanya hubungan antara para pedagang Arab, India, Cina, Persia, yang didukung oleh letak geografis Indonesia yang sangat strategis sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar pedagang anatar pedagang tersebut, yang lebih terfokuskan pada wilayah ujung Barat dan Timur Sumatera karena daerah ini sebagai kota bandar yang harus disinggahi lebih dahulu sebelum selat Malaka menuju kawasan Asia Timur terutama daratan Cina. Tentu keempat teori tersebut masing-masing memliki kebenaran dan kelemahannya. Dengan berbagai deskripsi yang dipaparkan maka Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad ke-13 sebagai kekuatan politik. Yang memegang peranan dalam penyebarannya adalah para pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat (India) dan para pedagang Cina yang sudah memeluk ajaran Islam.

“ migrasi bangsa-bangsa masuk nusantara”

A. MELAYU TUA DAN MELAYU MUDA Bagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Mongolid, sebutan yang diberikan ole Von Eicksted untuk Melayu. Sebagai cabang dari ras induk Kuning, ras Melayu yang tua. Persebarannya dari sumber aslinya (yakni dari Tibet) menuju ke Selatan melalui jazirah Hindia Belakang. Adapun cabang lain dari ras induk Kuning, yakni Mongoloid bergeraknya ke Timur (Cina, Korea, dan Jepang). Di Hindia Belakang ada dua pusat persebaran bangsa. Yaitu daerah Yunnan di Cina Selatan berangkatlah suku-suku yang tergolong Proto Melayu Tua dan dari daratan Dongson di Vietnam Utara berangkatlah suku-suku Deutro Melayu. Ciri-ciri ras Melayu adalah sebagai berikut : ● Rambut lurus ● Kulit kuning kecokelat-cokelatan. ● Mata agak sipit. Pendapat dari para Antropolog : Antropolog Fischer Berpendapat bahwa kelompok Melayu Tua datangnya di Nusantara dahulu daripada kelompok Melayu Muda. Mulanya migran-migran pendahulu itu menempati panatai-pantai Sumatera Utara, Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat. Tetapi kemudian karena terdesak oleh kelompok Melayu Muda, orang-orang Melayu Tua selanjutnya masuk ke pedalaman dan hidup terisolasi sehingga mundurlah peradaban mereka, mereka inilah kemudian menjadi suku Batak, Dayak, dan Toraja. Antropolog Duyvendak (Belanda) Berpendapat bahwa sebutan tua dan muda pada ras Melayu sedikit banyak menyesatkan. Kelompok tua belum tentu datangnya dari negeri kita lebih dahulu dari kelompok muda. Misalnya, datangnya nenek moyang suku Jawa menurut ia kurang lebih bersamaan waktunya dengan mendaratnya suku Dayak di Kalimantan. Ciri-ciri jasmani yang berlainan pada umumnya antara kelompok Melayu Tua dan Melayu Muda terdapat pada bentuk kepala. Orang Melayu Tua Kepalanya panjang (dolichocephalia). Sedangkan orang Melayu Muda kepalanya pendek (brachycephalia). B. GEOGRAFI YUNNAN DAN DONGSON Alam, khususnya yang berupa iklim serta mutu tanah besar pengaruhnya atas nasib manusia, meskipun ini berlakunya tidak secara otomatis. Pengaruh tadi berbeda menurut tempat atau wilayah, serta tahap perkembangan perdaban manusia yang bersangkutan. Sehubungan itu tentu saja faktor manusia sebagai pencipta budaya tidak dapat diremehkan peranannya. Kondisi Geografi pada masyarakat Yunnan (Melayu Tua di Cina Selatan) ● Merupakan dataran tinggi kering dengan ketinggian rata-rata 100 m dpl. ● Alamnya tertutup oleh rerumputan. ● Pepohonan yang rendah dan semak belukar. ● Wilayahnya terpisah oleh jurang-jurang. ● Mata pencaharian penduduk aslinya berburu dan mengumpulkan Buah-buahan. ● Selanjutnya beralih usaha peternakan dan pengolahan tanah secara primitif. ● Menggunakan alat-alat seperti kapak persegi panjang (rectangular axe), diemukan di Malaka, Sumatera, Kalimantan , Filiphina, Jawa, Sulawesi dan seluruh Nusa Tenggara. Kondisi Geografi pada masyarakat Dongson di Vietnam Utara ● Dapat membuat perkakas dari perunggu. ● Peradaban mereka ditandai oleh kemampuan mengerjakan logam dengan sempurna. ● Dapat mengolah tanah menjadi usaha irigasi. ● Melakukan usaha perikanan dan pelayaran. C. BANGSA NEGRITO DAN WEDDID, HUBUNGAN DENGAN BANGSA-BANGSA DI PASIFIK Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu Tua dan Muda, negeri kita sudah terlebih dahulu kemasukan orang-orang Negrito dan Weddid. Orang Negrito sekarang masih kedapatan sebagai suku terasing di Malaka (Semang) dan Filiphina (Aeta). Kepalanya dolichocepal atau brachycephal, rambut keriting. Sebutan negrito diberikan orang-orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis negro. Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang, kulit mereka cokelat tua dan tinggi rata-rata kaum lelakinya 155 cm. weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di pulau Ceylon (Srilangka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas. D. LATAR BELAKANG GEOGRAFI-POLITIK MIGRASI Geograf Alers (1955) melihat gerak migrasi bangsa-bangsa dari Asia Tenggara ke Indonesia sebagai penetrasi bangsa Mongoloid atau tepatnya Indo-mongolid ke arah selatan. Dengan sebutan Indo-mongolid dimaksudkannya bangsa-bangsa yang sejak semula sudah merupakan hasil percampuran penduduk berasal dari India dan Cina. Penduduk Asia Tenggara sekarang pada pokonya berasal dari percampuran dua ras (ras Aria di Barat dan ras Mongolid di Timur). Warna kulit kuning-langsat, kuning sawo matang atau kecokelat-cokelatan samapai cokelat tua, membuktikan adanya percampuran kedua ras tersebut. Adapun penduduk yang paling asli di Asia Tenggara, terusir ke Asia Selatan, ditaklukan atau dicampur-kawinkan. Di India percampuran antara ras Aria dan Dravida tidak intensif, sehingga disana kasta tinggi terang warna kulitnya, sedangkan kasta paling bawah yang paling gelap. Tidak mengherankan bahwa dalam bahasa Sansekerta “warna” artinya kasta. E. BANGSA INDONESIA DAN POLINESIA Dalam menguraikan pertalian antara bangsa Indonesia dan bangsa Polinesia, Howells dalam bukunya Mankind so far menulis sebagai berikut : Suku-suku Mongolid pada awal abad Masehi sudah behasil menduduki wilayah Indonesia sekarang. Mereka disebut sebagai Melayu Tua dan Melayu Muda. Ekspansi ke selatan ini, kemudian membelok ke Timur sehingga lambat laun kemudian mereka mencapai pulau-pulau dihadapan Irian. Percampuran antara Melayu Muda dan Melanesoid dari Irian kita temukan berupa penduduk Indonesia Timur seperti ada di Maluku dan sekitar Timor. Howells juga meneyebutkan bahwa bangsa Polinesia di Samudera Pasifik, besar kemungkinan bersal dari Kepulauan Indonesia. Diduga pada awal abad Masehi mereka meninggalkan kepualauan kita menuju ke arah timur dengan kapal-kapal mereka, akan tetapi tidak singgah di Kepulauan Melanesia. Pendapat tersebut di atas diperkuat oleh Kuykendal disertai uraian yang lebih sempurna. Menurut ia sejak masa yang lama sekali bangsa Polinesia ialah mendiami apa yang dinamakan wilayah segitiga Polinesia yang tiga sudutnya berimpit dengan Hawai sebagai puncaknya dan pulau Paskah dan Selandia Baru sebagai dua sudut alasnya. Sewaktu nenek moyang bangsa Eropa tidak mengetahui dunia lain kecuali pantai-pantai Laut Tengah yang dekat bangsa Polinesia sudah menjelajahi lautan ribuan mill tanpa kompas, melainkan dengan bantuan gejala-gejala matahari, awan, burung, arus laut, gelombang, dan bintang malam, jumlah langit menurut lintang tempat serta pergeserannya dari bulan ke bulan.